Aku lahir di tengah keluarga yang penuh harum dan rimbun, seperti pohon cemara yang tumbuh di pekarangan rumah-rumah tua: lebat, sejuk, dan tampak damai. Tapi seperti juga pohon, apa yang terlihat belum tentu bisa dirasa.
Ayahku seorang lelaki pekerja, duduk sebagai Supervisor di kantornya, disiplin, tegas, dan tak pernah pulang sebelum matahari tenggelam di balik atap. Ibuku tinggal di rumah, mengurus segala hal yang tak pernah dianggap pekerjaan oleh orang-orang. Mereka menjalani hidup bersama dengan cara yang membuat orang lain menyebutnya jodoh.
Ayah dan ibuku bukan orang besar. Mereka tidak punya pangkat tinggi, tidak pula suara yang keras di ruang-ruang umum. Tapi ada sesuatu dalam diri mereka yang lebih dari cukup: kesabaran.
Aku menyaksikan dengan mataku sendiri, bukan dari cerita, bukan pula dari keluhan. Bagaimana dunia memperlakukan mereka dengan cara yang kejam dan kadang tak masuk akal. Dilecehkan karena kesederhanaan, disalahkan karena diam, dilukai karena tidak melawan. Tapi tak pernah kudengar satu kata pun umpatan keluar dari mulut mereka.
"Biarkan Tuhan yang membalas," kata ayah, bukan sekali dua kali, melainkan seperti mantra. Dan ibu... kadang kupandangi punggungnya bergetar di atas sajadah, tangisnya nyaris tanpa suara, hanya bahunya yang bergerak perlahan—seperti daun yang gemetar menahan hujan.
Kesabaran mereka bukan karena tak bisa melawan. Tapi karena mereka tahu: sebagian luka tak butuh pembalasan, hanya waktu... dan Tuhan yang lebih tahu.
Ayah dan ibuku punya bahasa cinta yang tak lazim : DEBAT.
Bukan saling panggil dengan nama manja, bukan pelukan atau bunga-bunga kata. Mereka berbicara dengan argumen, suara meninggi, dan jeda panjang yang kadang membuat rumah terasa seperti medan perang kecil.
Di masa kanak, aku sempat merasa terzalimi: inikah wajah muram dari sebuah pernikahan? Mengapa cinta harus terdengar keras, dan mengapa anak harus duduk di antara dua kepala yang saling menolak untuk tunduk?
Namun waktu, seperti biasa, punya caranya sendiri membuka pemahaman.
Debat itu bukan pertengkaran. Ayah sedang mendidik ibu, bukan untuk menjadi muridnya, melainkan untuk menjadi kawan berpikir yang seimbang.
Dan ibu tidak menyerah; ia menantang balik, atau bahkan diam memperhatikan dengan cara yang membuat ayah tidak merasa sendirian dalam logika dan keyakinannya.
Dari mereka aku belajar, bahwa cinta tidak selalu menenangkan. Kadang cinta justru mengguncang. Dan di sanalah aku mulai memahami: pernikahan bukan sekadar soal dua orang yang saling menyayangi, tapi dua manusia yang saling menggugat untuk menjadi lebih baik.
Tapi di luar sana, tak semua pernikahan berjalan seperti itu. Aku menyaksikan sendiri—dalam keluarga kerabat, tetangga, bahkan teman, bagaimana orang orang menikah bukan untuk tumbuh bersama, tapi untuk mendominasi.
Menikahi untuk menenangkan ego. Menikahi untuk merasa lebih tinggi. Menikahi untuk...menzalimi.
Banyak yang menikah dengan wajah cinta, tapi membawa tangan kekuasaan. Seorang suami melarang istrinya bekerja, bukan karena ia ingin menjaga, tapi karena ia takut kalah. Seorang istri menuntut lebih dari yang suaminha beri, bukan karena cinta, tapi karena gengsi. Pernikahan berubah menjadi gelanggang adu kuasa, bukan ruang untuk saling mendewasa.
Dan aku, sebagai anak dari pasangan yang tidak sempurna, tapi berusaha tumbuh bersama, bertanya dalam hati: "jika cinta saja bisa melukai, apalagi jika tak ada cinta sama sekali?"
Jika seseorang menikah hanya untuk merasa unggul, untuk merasa benar, untuk memaksakan cara pandangnya tanpa ruang bagi pasangannya tumbuh, bukankah itu bentuk penzaliman yang dilegalkan oleh adat dan disahkan oleh agama?