Selamat Datang Di Blog Pribadi Aisyha Nazaara Assha Septiandra | Buku harian yang dipublikasikan

Senin, 02 Juni 2025

MENIKAHI UNTUK MENZALIMI

"Apakah semua orang yang menikah benar-benar siap mencintai, atau hanya ingin memiliki?"

Aku lahir di tengah keluarga yang penuh harum dan rimbun, seperti pohon cemara yang tumbuh di pekarangan rumah-rumah tua: lebat, sejuk, dan tampak damai. Tapi seperti juga pohon, apa yang terlihat belum tentu bisa dirasa.

Ayahku seorang lelaki pekerja, duduk sebagai Supervisor di kantornya, disiplin, tegas, dan tak pernah pulang sebelum matahari tenggelam di balik atap. Ibuku tinggal di rumah, mengurus segala hal yang tak pernah dianggap pekerjaan oleh orang-orang. Mereka menjalani hidup bersama dengan cara yang membuat orang lain menyebutnya jodoh.

Ayah dan ibuku bukan orang besar. Mereka tidak punya pangkat tinggi, tidak pula suara yang keras di ruang-ruang umum. Tapi ada sesuatu dalam diri mereka yang lebih dari cukup: kesabaran.

Aku menyaksikan dengan mataku sendiri, bukan dari cerita, bukan pula dari keluhan. Bagaimana dunia memperlakukan mereka dengan cara yang kejam dan kadang tak masuk akal. Dilecehkan karena kesederhanaan, disalahkan karena diam, dilukai karena tidak melawan. Tapi tak pernah kudengar satu kata pun umpatan keluar dari mulut mereka.

"Biarkan Tuhan yang membalas," kata ayah, bukan sekali dua kali, melainkan seperti mantra. Dan ibu... kadang kupandangi punggungnya bergetar di atas sajadah, tangisnya nyaris tanpa suara, hanya bahunya yang bergerak perlahan—seperti daun yang gemetar menahan hujan.

Kesabaran mereka bukan karena tak bisa melawan. Tapi karena mereka tahu: sebagian luka tak butuh pembalasan, hanya waktu... dan Tuhan yang lebih tahu.

Ayah dan ibuku punya bahasa cinta yang tak lazim : DEBAT. 

Bukan saling panggil dengan nama manja, bukan pelukan atau bunga-bunga kata. Mereka berbicara dengan argumen, suara meninggi, dan jeda panjang yang kadang membuat rumah terasa seperti medan perang kecil.

Di masa kanak, aku sempat merasa terzalimi: inikah wajah muram dari sebuah pernikahan? Mengapa cinta harus terdengar keras, dan mengapa anak harus duduk di antara dua kepala yang saling menolak untuk tunduk?

Namun waktu, seperti biasa, punya caranya sendiri membuka pemahaman.

Debat itu bukan pertengkaran. Ayah sedang mendidik ibu, bukan untuk menjadi muridnya, melainkan untuk menjadi kawan berpikir yang seimbang. 

Dan ibu tidak menyerah;  ia menantang balik, atau bahkan diam memperhatikan dengan cara yang membuat ayah tidak merasa sendirian dalam logika dan keyakinannya. 

Dari mereka aku belajar, bahwa cinta tidak selalu menenangkan. Kadang cinta justru mengguncang. Dan di sanalah aku mulai memahami: pernikahan bukan sekadar soal dua orang yang saling menyayangi, tapi dua manusia yang saling menggugat untuk menjadi lebih baik.

Tapi di luar sana, tak semua pernikahan berjalan seperti itu. Aku menyaksikan sendiri—dalam keluarga kerabat, tetangga, bahkan teman, bagaimana orang orang menikah bukan untuk tumbuh bersama, tapi untuk mendominasi. 

Menikahi untuk menenangkan ego. Menikahi untuk merasa lebih tinggi. Menikahi untuk...menzalimi.

Banyak yang menikah dengan wajah cinta, tapi membawa tangan kekuasaan. Seorang suami melarang istrinya bekerja, bukan karena ia ingin menjaga, tapi karena ia takut kalah. Seorang istri menuntut lebih dari yang suaminha beri, bukan karena cinta, tapi karena gengsi. Pernikahan berubah menjadi gelanggang adu kuasa, bukan ruang untuk saling mendewasa.

Dan aku, sebagai anak dari pasangan yang tidak sempurna, tapi berusaha tumbuh bersama, bertanya dalam hati: "jika cinta saja bisa melukai, apalagi jika tak ada cinta sama sekali?"

Jika seseorang menikah hanya untuk merasa unggul, untuk merasa benar, untuk memaksakan cara pandangnya tanpa ruang bagi pasangannya tumbuh, bukankah itu bentuk penzaliman yang dilegalkan oleh adat dan disahkan oleh agama?


Jumat, 16 Mei 2025

PRAJA DI DALAM FILM

"Bisa gak sih, sehari aja ga nulis?" Otakku berteriak kencang dari balik tengkorak.

Menulis dan bernapas, bagiku tak ada bedanya.  Seperti... masa lalu, masa depan, masa kini, bagiku sama-sama masa. 

"Jadi gimana cara cepet move on?" Tanya temanku dengan Sampoerna Mild yang terhimpit di jarinya. Ya, dia laki-laki.

Aku terkekeh mendengarnya. Bahkan, dari awal berpisah, aku tidak ada niat untuk move on.

Ada saatnya kita lupa. Namun, jika suatu hari kenangan itu menyelinap kembali, mengguncang dada tanpa permisi, biarlah. Namanya manusia, diberkahi memori yang tak pernah benar-benar mati.

Perpisahan, di detik pertama, bukan sekadar kehilangan. Rasanya seperti ada bagian dari jiwa yang tercabik. Amigdala dalam otak bekerja gila-gilaan, memuntahkan rasa sakit yang tak terdefinisikan. Bukan hanya di hati, tapi menjalar ke tenggorokan, dada, bahkan napas. Dan pada saat itu, dunia tak benar-benar hening. Ia berisik—oleh bayangan, oleh rindu—pftttt. Bukannya menangis, aku malah tertawa sendiri jika ingat.

“Cara cepet move on tuh, gini…" kataku dengan senyum tipis, seolah aku tahu caranya. Padahal nyatanya, aku sedang berdusta—lagi.

Kenyataannya, aku belum benar-benar pergi dari luka itu. Hatiku masih tertambat di hari-hari yang tak ingin kuingat tapi tak bisa kulupakan.

“Tau gak, bedanya hati gua sama kuburan?” tanyanya tiba-tiba, di sela asap rokok yang mengepul pelan dari bibirnya.

Aku melirik malas. “Gombal.”

“Belom, sinting,” katanya, tertawa kecil. Giginya rapi, terlalu kontras dengan candaannya yang receh.

“Di kuburan ada setan, di hati gua ada kesepian.”
Tawa meledak dari mulutnya. Seakan candaan itu benar-benar lucu. Tapi matanya tak ikut tertawa.

Dan saat itu, aku sadar, barangkali dia tidak benar-benar sedang bercanda.

“Ceritain aja,” kataku, menatap matanya dalam-dalam. Aku tahu—ia sedang menyembunyikan sesuatu. Otak laki-laki memang tak dirancang untuk bicara panjang. Hipotalamus mereka berbeda. Kadang, diam jadi satu-satunya cara bertahan. Tapi aku bisa merasakan, ada beban yang sedang menjeratnya pelan-pelan.

Dia mengalihkan pandangannya ke langit malam, menghembuskan asap rokok seperti sedang merapal mantra. “Takut setan gak?” tanyanya tiba-tiba. Lagi-lagi, terdengar receh.

Tapi aku menanggapinya serius. “Setan itu sifat. Hantu itu materi fisik. Jadi, yang mana?” 
Aku sengaja menjawab begitu—ingin obrolan ini lebih berbobot.

“Orang takut kuburan karena ada hantu,” katanya, melirikku sekilas, lalu menyambung dengan nada menggoda, “Hantu yang materi fisik”

Aku mendengus, siap membalas, tapi kalimat berikutnya memukul lebih keras dari yang kuduga.
“Beda ceritanya kalau orang yang kita sayang ada di dalem kuburan.”

Jleb. Di luar prediksi BMKG. Aku diam sesaat.

“Ngerti gak?” tanyanya, seolah meragukan kemampuanku menyerap makna kata.

Aku menghela napas pelan, lalu menjawab, “Iya tau.” 

Aku menatap lurus ke depan, mencoba terdengar lebih tenang daripada yang sebenarnya kurasa. “Maksudnya, setelah kehilangan, kuburan tidak lagi menyeramkan… kalau di dalamnya ada raga yang kita sayang.” aku pernah membaca ini di tiktok.

Dia tidak langsung menimpaliku. Hanya menatap ujung rokok yang tinggal separuh, lalu membuang napasnya pelan.

“Gua tuh heran,” katanya akhirnya, suaranya pelan, hampir kayak bisikan. “Kenapa ya… orang yang ninggalin kita, bisa tenang di sana, tapi kita yang ditinggal, harus terus hidup kayak mayat hidup?” Entahlah, mungkin jika tidak memiliki ego, lelaki disampingku ini sudah menangis tersedu-sedu.

Aku....ingin memeluknya. 

Ya ampun, kenapa love languange ku phsycal touch? Kata ibuku 'Tidak boleh bersentuhan dengan lawan jenis'. 

Dan dia… dia teman dekatku. Bukan orang asing. Tapi juga bukan yang halal.
Jadi aku tahan. Lebih baik simpan pelukan itu di  dalam do'a “Tolong jaga dia. Peluk dia, kalau aku belum bisa.”

Ia hanya melirikku, belum sempat berkata apa-apa ketika jariku menyentil rokoknya hingga terjatuh ke tanah.

Praja. Bukan tokoh di dalam film. Dia nyata, disampingku. Iya, lelaki sebaik itu. 
Jika dideskripsikan dengan gaya Pram, Praja itu....

Ia lelaki muda dengan sorot mata hitam pekat, seperti sumur tua yang menyimpan banyak rahasia dan dendam yang belum lunas. Tatapannya tajam, bukan karena kemarahan, tapi karena hidup telah memaksanya belajar menilai dunia lebih cepat dari semestinya. Tubuhnya tegap, sekitar 177 sentimeter, dengan dada bidang, otot bisep dan trisep yang terbentuk bukan dari alat olahraga, melainkan dari kerja keras yang tak pernah banyak ditanya asalnya.

Wajahnya bersih, kulitnya sawo matang, seperti mereka yang tumbuh di bawah matahari kampung tapi tau cara menjaga diri. Hidungnya biasa saja, tidak bangga dan tidak malu, sedang-sedang saja seperti sikapnya terhadap hidup. Ia bukan lelaki tampan menurut ukuran umum, tapi ada sesuatu dalam senyumnya—sejuk dan jujur—yang membuat orang tak ingin buru-buru pergi setelah menatapnya.

Ia selalu memakai celana bahan dan kaos oblong murahan, entah karena pilihan atau keterpaksaan ekonomi. Sendal Swallow merah adalah sahabat setianya, jejak ke mana pun ia pergi, dari warung kopi sampai musala kecil di ujung gang. Wangi tubuhnya selalu ditingkahi aroma parfum Axe cokelat, wangi maskulin yang terlalu berusaha keras, seperti dirinya—berusaha terlihat biasa saja di antara gelimang harta yang dimilikinya.

Mau dikenang di mana lagi, Praja?

Rabu, 07 Mei 2025

MALAM PERTAMA BERSAMA TAN MALAKA

Bukan di hotel mewah, bukan di bawah bintang. Tapi di kamar sederhana dengan suara kipas angin yang menggebu-gebu.

Aku duduk bersila di kasur, menatap halaman pertama Madilog. Dan di situlah, malam itu, aku jatuh cinta. Bukan pada sosok, tapi pada ide. Bukan pada wajah, tapi pada logika.


Malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa ditemani oleh seseorang yang benar-benar paham tentang revolusi dan tanah air.

Namanya: Tan Malaka. (Ibrahim Datuk Tan Malaka)

                              ---------------

Aku masih tak percaya. Awalnya hanya memandang Tan dari jauh di gramedia. Membatin, ingin memiliki,  tapi saat itu... Aku belum bisa.

Akhirnya, aku melangkah pergi dengan dada yang masih menggantung.

Setahun berlalu.

Aku bertemu seorang teman. Lelaki yang, dari caranya berbicara, cara berpikir, cara mempertanyakan dunia—terlihat...kiri?

Namanya Desta Esaputra Mahendra.
Dan ternyata, dialah yang kelak mempertemukanku dengan Tan Malaka.

“Kamu suka Tan Malaka juga?” tanyanya suatu malam lewat pesan singkat.

“Iya, Des. Aku suka banget. Tapi aku belum punya bukunya...” balasku cepat. Ada antusiasme, ada getir.

Tak butuh waktu lama untuknya membalas.

...Desta send a picture (Daftar Isi Madilog)
“Aku punya Madilog. Kalo kamu mau, kamu bisa baca punya aku syah.”

Hatiku menghangat, “Mauuuuu😍” ya ampun aku sangat antusias.

“Tapi aku sendiri kurang ngerti sih,” Desta membalas.  “Bahasanya agak susah.” tambahnya.

Sekelas Desta—yang namanya selalu bertengger di peringkat pertama— saja merasa kesulitan membaca Madilog.
Lalu bagaimana denganku?

Ah, dont care about it. Yang penting, kumiliki dulu. Soal nanti paham atau tidak, biarlah jadi urusan malam-malam berikutnya.

Terkadang, memiliki sesuatu yang kita yakini penting—meski belum sepenuhnya kita mengerti—adalah bentuk awal dari komitmen.

Malam itupun tiba, kamar menjadi saksi.  Di tanganku, tergeletak buku itu—Madilog.
Bukan sekadar buku. Ini adalah pertemuan yang kutunggu sejak lama. Sebuah malam pertama… bersama Tan Malaka.

Jantungku tak seharusnya berdebar hanya karena lembar kertas. Tapi nyatanya, ada sesuatu yang menggigil halus saat jemariku menyentuh sampulnya.
Sebagian diriku merasa belum siap. Tapi rasa ingin tahu mengalahkan segalanya.

Aku membuka halaman pertama dengan hati-hati, seakan menyentuh sesuatu yang sakral. Lalu, aku mulai membaca.

Dan di situlah aku sadar—Tan tidak sedang berbisik lembut. Ia menatapku tajam. Ia langsung menusuk ke dalam kepalaku dengan tiga kata: Materialisme. Dialektika. Logika.

Bukan rayuan, bukan pengantar manis, tapi tamparan. Bahwa berpikir bukan tentang merasa paling pintar, tapi tentang meruntuhkan semua asumsi yang kita kira kebenaran.

Bahwa memahami dunia bukan sekadar mencatat—tapi menggugat.

Aku mendesah pelan, tersenyum getir.
Begini ya rasanya, disentuh pertama kali oleh pemikiran yang benar-benar hidup?

Tiba di bagian Logika Mistika, aku tertegun.

Inilah bab yang seolah paling dekat dengan hidupku. Dengan lingkungan tempatku dibesarkan. Dengan keluarga besarku yang masih begitu erat menggenggam mistik dan takhayul sebagai warisan yang tak boleh digugat.

Katanya, jangan duduk di depan pintu nanti susah jodoh. Jangan menyapu malam-malam, nanti rezekinya hilang. Jangan bicara terlalu keras saat magrib, nanti disamber setan.

Di sini, Tan Malaka datang sebagai pembongkar kepercayaan turun-temurun. Ia tidak menghina, tapi menguliti satu per satu cara berpikir yang dibungkus oleh rasa takut.

Katanya, “Kita jangan melawan mistik hanya dengan anti-mistik. Tapi kita hadapi dengan logika. Dengan pengetahuan.”

Ah, Tan, andaikan kau hidup di zaman sekarang. Di mana neurosains sudah menjadi bahasa baru untuk menjelaskan “kerasukan”  yang dulu dianggap ulah jin.

Sekarang kami menyebutnya dissociative trance disorder—sebuah kondisi psikologis di mana seseorang keluar dari kesadarannya. Bisa secara sengaja atau tidak disengaja.

Tapi bahkan hari ini, penjelasan ilmiah itu dianggap terlalu ‘barat’, terlalu ‘tidak beradab’. Dan suara seperti milikmu, Tan, tetap dianggap sebagai pengganggu tradisi, bukan penyelamat cara berpikir.

Aku menutup halaman itu sejenak, menarik napas panjang. Tidak mudah memihak nalar, saat perasaan sudah terbiasa berlindung di balik mistik. 

Malam-malam berikutnya, aku masih bersama Tan. Buku Madilog kini tak lagi terasa asing. Meski belum sepenuhnya kumengerti.

Baru malam ke 4 saja, aku sudah kelelahan. Bukan karena terlalu rumit, tapi karena terlalu jujur. Terlalu menggugah.

Intinya, Tan memulainya dari dasar: 
Materialisme. Bagaimana kita harus berpikir berdasarkan kenyataan, bukan angan-angan. Ia tak menolak keyakinan, tapi ia ingin kita tak mudah larut dalam dogma. Bahwa segala sesuatu harus diuji: apakah itu nyata, atau hanya warisan pikiran yang tak pernah kita pertanyakan?

Ia menyebut mistik sebagai bentuk kemalasan berpikir. Tapi bagiku, itu bukan penghinaan—itu ajakan untuk berani berpikir sendiri.

Dan yang paling mengguncangku, adalah dialektika. Ah, ini bagian yang membuatku merasa benar-benar berdialog dengan Tan.
Bahwa segala sesuatu di dunia ini bergerak karena pertentangan. Bahwa kebenaran bukan diam di satu tempat, tapi terus berubah, berkembang, dan bertumbuh dari perbedaan.

Hidup adalah pertarungan antara tesis dan antitesis. Dan di antaranya, kita menemukan arah baru: sintesis.

Itu semua baru sampai Bab 5.
Tapi sejujurnya, seolah sudah cukup membuatku merasa… ditampar.

Malam keempat, rupanya jadi malam terakhirku bersama Tan. Aku tak sempat menyelami logika yang ia tawarkan—tak sempat mendalami "log" dari Madilog.

Untuk sekarang, biarlah ia tetap bernama Madi. Karena  logikanya belum sempat tinggal lama di sini.
 
                         -------------------

Pulang sekolah. Langit sudah menguning
Aku melihat sosok itu dari kejauhan—seragam kotak hijau, langkahnya santai, dan tas hitam andalan tergantung di punggungnya. Desta.

Aku berlari kecil, menghampirinya.
“Des!” panggilku.

Ia menoleh, sedikit terkejut.
“Kenapa syah?”

Aku mengangkat buku itu—Madilog, dengan sampul merahnya yang mulai lusuh di ujung-ujungnya. “Mau balikin Tan Malaka.”

Tatapan Desta berubah. Sedikit kaget.
“Emang udah selesai, Syah?” tanyanya pelan.

Aku tersenyum, tapi tak bisa menyembunyikan sedikit rasa sesal.
“Belum. Baru sampe bab lima. Aku harus nulis naskah buat film PKN. Takut ke-distract.”

Desta diam sejenak. “Yaudah... pegang aja dulu, Syah.”
Seperti ada makna lain di balik kalimatnya. Seolah ia ingin bilang: sayang banget, kamu belum sepenuhnya kenal Tan...

Aku menggeleng, pelan. “Nggak usah, Des. Kapan-kapan aja”

Desta mengangguk kecil, lalu membalikkan tubuhnya sedikit, “Oke deh. Tolong Masukin aja ke tas aku, Syah.” 

Aku segera membuka resleting tasnya, dan memasukkan buku itu perlahan. Jemariku tak sengaja menyentuh bekas lipatan kertas di dalamnya. Aku menarik napas, lalu menutup tasnya kembali.

Apapun itu, mau Elias Fuentes, Ossorio, Tan Minh Sion, Tan Ho Seng, atau bahkan Ilyas Hussein. Tan Malaka tetap Tan Malaka yang logikany belum kubaca.

Terima kasih ya, Des. Untuk pertemuan singkatku dengan Tan.












Pesan :
Jujurly sedih bgttt. Dan faktanya sampe sekarang aku blm ngelanjutin madilog!
Not sure if you still remember that moment… but either way, 
Arigathanks untuk Destaesa😍




Selasa, 06 Mei 2025

MENENGAH TER-AKHIR

Debu bergulung di sepanjang jalan Cileungsi-Klapanunggal pagi ini. Langit biasa saja, tapi entah kenapa semuanya terasa lambat.

Aku menyetir motor, membonceng Nanda, sambil sesekali melirik ban yang sudah kekurangan angin sejak kemarin. Tak sempat dipompa. Sudah tak penting rasanya.

Hari ini aku memakai seragam putih abu untuk terakhir kalinya. Tak ada upacara kelulusan. Tak ada bunga-bunga perpisahan. 

Tidak ada suara gamelan atau nyanyian "Doa Perpisahan" seperti yang pernah kualami di masa SMP. Kami hanya datang untuk menandatangani lembar kelulusan.

Selesai. Begitu saja.

Lalu kami diberi buku tahunan. Yang harganya 375 ribu. Warnanya mencolok, desainnya ramai, tapi isinya terasa datar.
Foto-foto penuh senyum yang anehnya tak lagi terasa hidup. Hambar. Bahkan sedikit getir.

Tapi ada satu hal yang kutunggu sejak pagi: Pak Hasan. Guru sejarah di SMA ku.

Aku dan Syadenia mencari beliau ke ruang guru, menunggu dengan tenang seperti biasa. Saat akhirnya bertemu, aku tersenyum dan mengulurkan sebuah buku. Isinya catatan materi yang selama ini beliau berikan.

“Pak, saya minta tanda tangan ya,” kataku.

Beliau menatapku, "Apa ini? Coba saya baca-baca dulu" katanya, dan segera berlalu ke dalam ruangan.

Aku tak tahu beliau sadar atau tidak, bahwa aku mencatat semua materi sejarahnya dari kelas 10 sampai kelas 12. Tanpa diminta, tanpa ada yang tahu. Bahkan mungkin aku satu-satunya siswa yang melakukannya. Karena di tengah rutinitas sekolah yang kadang terasa hampa, pelajaran beliau selalu membuatku merasa hidup. Sebenarnya di Smanek, belajar sejarah saja aku sudah cukup.

Pak Hasan keluar ruangan, aku menyodorkan pulpen, kita bertiga malah duduk di depan kantor guru. 
Dan beliau menandatangani catatanku. Kecil sekali.

“Ini apa, Aisyha? Filsafat?” tanya Pak Hasan sambil membalik-balik halaman buku catatanku yang sudah lusuh di pinggirannya.

Aku hanya tersenyum kecil, sebelum Syadenia menimpali, “Wah, itu sih... emang bidangnya, Pak!” Nada suaranya meninggi, seolah sedang mempromosikanku jadi penerima Nobel.

Pak Hasan terkekeh pelan. “Dunia sophie paling dasar tuh, dan paling gampang dimengerti" kata pak Hasan. 

Aku mengangguk. Itu buku pertama yang membuat filsafat terasa seperti percakapan sore hari yang bisa dimengerti oleh remaja tanggung seperti aku.

“Kalau buku filsafat yang tebal-tebal itu,” lanjutnya, “kadang malah bikin bingung sendiri. Kebanyakan muter-muter.”

Obrolan kami mengalir ringan. Sederhana, tapi hangat. Tak butuh waktu lama, satu narasumber lain ikut bergabung. Pak Sunardi. 

Entah siapa yang lebih dulu memancing topik, tapi tiba-tiba kami seperti sudah duduk di meja diskusi kecil, dan saling bertukar ide.

Topik pun mengalir ke soal kuliah.
"Tadinya saya mau nembak tuh, masuk UI fakultas kedokteran!" ujarku penuh tawa.
Pak Hasan menatapku sejenak, lalu berkata dengan nada santai, “Masuk UI boleh, tapi ambil Sastra Jawa aja.”
Aku terkekeh.

Tipikal Pak Hasan—selalu menyelipkan sesuatu yang tak terduga.
Bukan meremehkan, aku tahu. Justru itu caranya bercanda: melempar pilihan yang terdengar acak, tapi diam-diam memancing reaksi.

Pak Sunardi duduk tak jauh, ikut menyimak. Beliau memberi saran dan menjelaskan sedikit filosofi bukunya yang berjudul 30 Hari.

“Coba baca La Tahzan, bagus itu,” katanya.
Aku mengangguk. Tapi dalam hati, aku tahu—judulnya saja sudah terlalu tenang. Terlalu manis. Kurang kiri, pikirku.
Bukan buku yang biasanya kugunakan untuk menantang pemikiran. Tapi tetap, akan ku coba.

“Kalo Aisyha, nggak ikut ekskul apa-apa ya?” tanyanya, seperti menggali pelan-pelan.

Aku ingin tertawa. Bahkan kenyataannya, aku sempat keluar dari satu ekskul hanya demi fokus ke yang lain.
Terlalu banyak hal yang kupilih dengan penuh pertimbangan—dan pengorbanan.

“Syaden juga bagus sih,” tambah Pak Sunardi, “anak pramuka. Jago survive.”
Tawanya ringan, diikuti tawa Syaden yang tak kalah ceria.
“Aisyha juga pernah, Pak, tertarik masuk pramuka,” ujar Syaden sambil melirikku, penuh kenangan kecil.

Gila saja, obrolan kami ternyata belum selesai.
Dari topik kuliah, tiba-tiba melompat ke teori konspirasi, dan bermuara pada sejarah dunia yang disembunyikan.

“iya ,VOC itu BUMN-nya Belanda,” celetuk Pak Hasan. Aku terkekeh, tapi Pak Sunardi justru menanggapi serius, “Iya, dari zaman itu juga, korupsi udah jadi budaya.”
Pak Hasan mengangguk pelan, menambahkan, “Korupsi selalu ada di setiap masa. Tinggal bentuk dan siapa pelakunya yang berganti.”

Aku mengangguk, lalu menatap Pak Hasan dengan pertanyaan yang sejak lama ingin kutanyakan.
“Menurut Bapak, Tan Malaka itu pahlawan atau bukan?”

“Iya dong. Pahlawan,” jawab mereka hampir bersamaan.
Aku tersenyum lega. Entah kenapa, aku butuh mendengar itu. Butuh diyakinkan bahwa idealisme Tan tak sia-sia di mata guru-guruku.

Aku melirik ke arah Syaden yang sejak tadi lebih banyak diam dan senyum. Manis sekali.

Lalu aku menatap Pak Hasan lagi, mataku membulat antusias.
“Tapi Bapak percaya nggak, kalau nama asli Gajah Mada itu bukan Gajah Mada?”

Pak Hasan tertawa kecil. “Wah iya, itu. Bukan Gajah Mada. Terus Thomas Matulessy juga—”

“Muhammad Lessy,” potongku cepat.

Hening sebentar.
“Saya nggak percaya sih, Pak,” ujarku kemudian, jujur.
Pak Hasan tersenyum, “Saya percaya sih.”

Dan di situlah letak perbedaan kami.
Bukan soal benar atau salah. Tapi tentang bagaimana cara masing-masing dari kami menimbang narasi, menyaring sejarah, dan memilih mana yang layak dipercaya.

Aku sendiri tak percaya Thomas Matulessy itu Muhammad Lessy—keluarganya pun sudah pernah mengklarifikasi. Tapi entahlah. Di dunia ini, bahkan yang telah diklarifikasi pun masih bisa dipertanyakan.

Ponselku bergetar. Nanda menelepon—kode bahwa sudah saatnya pulang.
Di saat yang hampir bersamaan, Pak Hasan pamit sejenak menuju ruang Tata Usaha.
Tinggallah aku, Syaden, dan Pak Sunardi di bangku panjang yang mulai disapu angin siang.

Pak Yogo, Pak Mansyur, Pak Anta, Pak Sandi, dan Pak Andi sesekali melintas. Seperti figuran dalam film, mereka hadir tapi tak terlalu terlibat. Hanya lalu-lalang sunyi dalam cerita kami.

Aku ragu. Tapi akhirnya kutarik nafas, memberanikan diri.
“Yaudah, Pak… makasih ya,” ucapku sambil menjulurkan tangan ke arah Pak Sunardi.
Kami bersalaman. Aneh—aku biasanya tak terlalu yakin untuk berjabat tangan dengan guru laki-laki. Tapi kali ini sudah terlanjur. Lagipula, aku tadi juga sudah bersalaman dengan guru-guru lain.
Apa bedanya?

“Iya, Aisyha… Syaden… sukses selalu, ya,” katanya tulus.
“Iya Pak, makasih yaa,” sahut Syaden ramah.

Kami berjalan menjauh. Aku melangkah lebih dulu, sementara Syaden mengekor di belakang.

Langit Klapanunggal tampak biasa saja, tapi ada yang berubah di dalam diri.
“Ternyata lebih seru ya, belajar sambil ngobrol kayak tadi... daripada pas sekolah,” aku membuka percakapan.

“Iyalah, Sya,” jawab Syaden dengan nada yang tidak sekadar setuju, tapi juga mengandung perenungan.
“Kalau sekolah kan kita dipaksa, kaya harus memperhatikan, harus duduk diam. Kalau yang tadi tuh ngalir aja… nggak ada kekhawatiran apa-apa.”

Aku mengangguk pelan.
Benar juga. Mungkin kita tak butuh banyak ruang belajar baru—hanya butuh ruang aman, yang membuat kita merasa didengar tanpa harus selalu diuji.

Masa menengah akhir berakhir bukan dengan upacara megah, bukan pula dengan toga atau panggung wisuda.
Hanya dengan foto-foto seadanya—aku, Nanda, Syaden.
Kami berdiri di depan gapura Exsynus yang warnanya mulai pudar, tertawa karena hal-hal kecil yang dulu sering kami keluhkan.

Tanpa seremoni. Tanpa nama dipanggil satu per satu. Tapi entah kenapa, tetap terasa cukup.
Tanpa wisuda, kami tetap bahagia.

Mungkin karena kami tahu: yang abadi bukan seremoni, tapi kenangan. Dan hari ini, kami telah mengabadikannya.

Eakkkkk. Tamat.





Pesan:
Makasih buat Syadenia Rizky Putri yg udah jadi temen dalam Dhuha, Zuhur, Ashar di Smanek. Aku yakin, suatu saat cita-cita dan rencana yang selama ini kamu simpan itu akan terwujud. 

Makasih buat Nanda Rivaida Indriani. Wah ini sih udah kaya adek ku sendiri. Temen dalam suka duka. Aku yakin, suatu saat, kebaikan yang kamu kasih ke aku bakal berbalik 7000x lipat ke kamu.

Makasih banget buat bapak bapak yang ga pelit ilmu. Xixixix. Pak Hasan dan Pak Sunardi yang betah ya di Smanek. Kedepannya mungkin akan lebih berat karena bapak-bapak akan mendidik anak murid yang bangun tidur tontonannya tung tung saur, tiktok dll. Tapi tetep semangattt! Nanti saya bakal baca channel yt asisi ya namanya?

HARI PERTAMA KERJA

Hari pertama kerjaku sebenarnya sudah seminggu yang lalu. Berhadapan dengan komputer, tiap hari berganti outfit. Sallary yang lebih dari lumayan itu apa gunanya kalau tetap jadi budak korporat?
Intinya. Siapa juga yang akan menyukai laki-laki kiri, anti feodal, anti kapitalis, anti borjuis...dan bolak-balik baca buku?

Kenapa kerja ya? Biar tidak melakukan hal yang sia-sia. Tapi lihat. Di sini. Di kantor. Malah memikirkan Si Alwi.

Aku terlalu menjadikan dia TOP 3 laki-laki yang bisa ku jadikan suami, sampai lupa bahwa dia itu INFLUENCER DENGAN 231K FOLLOWERS! 

Oke, sekarang mari kita hapus kenangan bersama Alwi Johan. Tapi...
Orang gila mana yang bertanya dan menjawab seperti itu? Sebenarnya tetap cemburu sih. Cemburu banget. 

Wanita dan perasaannya. Maaf ya. 

Padahal masih banyak laki-laki selain Alwi yang lebih baik untuk aku. Ayo dong otak, berpikir kesitu. 

Prinsipku kan, 
mencintai laki-laki yang kunikahi. Bukan menikahi laki-laki yang kucintai. Karena kadang, cinta sebelum akad menjerumuskan ke dangerous desire.

Jadinya bias.

Ini cinta?

Atau nafsu semata?

Hari pertama kerja. Essay sindirian terakhir untuk Alwi Johan. Semoga cepat bertemu wanita idamanmu yang seperti Ainun itu. 

Aisyha mau melawan Ainun? Yang benar saja.

Jumat, 02 Mei 2025

MENENGAH PERTAMA

PEMBUKAAN
Ada satu hal, yang tidak boleh hilang di hidupku. Tujuan. Tanpa tujuan hidupku tidak beranyawa, hanya bernapas.
Dan lucunya, benih dari tujuan itu sudah tertanam sejak aku masih SD.

Waktu itu, aku belum paham apa itu ambisi. Tapi aku tahu rasanya ketika hati terpanggil.
Ketika pertama kali aku menulis cerita di buku tulis sisa pelajaran, dan aku merasa… hidup.

Dari situlah semuanya bermula.


Secara akademik, aku cukup berprestasi. Saat SD selalu peringkat 1 di rapor kenaikan kelas. Saat SMP menang olimpiade. Saat SMA Seruuu.

KESADARAN
Di SMP aku tersadar bahwa tujuan sekolah itu untuk menjadi manusia merdeka. 

Secara tiba-tiba, ambisi yang tumbuh di SD itu menghilang.
Aku sudah tidak belajar dari pagi sampai pagi karena takut nilai jelek.

Aku rasa, ambisi yang ku lakukan di masa SD itu sia-sia, balasannya hanya mendapat nilai bagus dan peringkat saja, tapi aku tidak merdeka, tidak bebas. Masih berada dalam penjara pikiran dan kekhawatiran akan masa depan.

Masa SMP jadi masa pencarian jati diri—sekalian, mumpung baru masuk masa pubertas.

Di situlah aku mulai benar-benar melihat siapa diriku:
galak, keras kepala, sulit diatur, dan entah kenapa… makin sulit fokus sejak mulai suka lawan jenis.

Semua itu terasa sangat tidak efektif terutama untuk orang sepertiku,
punya tujuan, tapi malah tersesat dalam tekanan dan kebingungan.

Aku tidak mereview sedikitpun pelajaran yang diberikan guru. Hanya modal mendengarkan guru, aku masuk peringkat 20 dari 36 murid. Ibuku marah, ayahku kecewa, keluarga besarku tak percaya. 

Lantas bagaimana lagi? Sistem sekolah membuatku tak leluasa menjadi manusia merdeka. Apa-apa diatur, dibatasi, distandari.

Sekolah negeri gratis katanya, pret.

Aku dipalak 2  juta rupiah di SMPN yang katanya favorit itu. Jangankan membentukku menjadi manusia merdeka, inimah manusia terjajah namanya!

PUBER AKUT
Malang nian nasibku ketika covid datang dan kami para siswa mesti belajar daring. Bisa mengerti setitik materi saja aku sudah Alhamdulillah.

Nah, tapi disinilah aku menemukan seorang yang entah bagaimana dia menjadi lelaki favoritku.
yang jelas bukan mereka ya. I consider them as my cute brothers.

Oke lanjut, 
sudahlah bodoh karena daring, ditambah ada crush, jadilah aku orang sinting. 

Sebenarnya yang menembakku bukan satu dua orang, tapi aku tak bisa.  Aku maunya cuma kamu. Im yours. Begitu kataku. Ceilah.

Singkat cerita kami dekat. 

Singkat cerita kami nekat.

Singkat cerita kami pegat.

Begitulah, begitu singkat kisah kami. Ga pacaran tapi terikat secara emosional. Jangan ditiru.

Kami tidak bertengkar,  tapi ya kami sadar kami salah, makanya pisah. Aku masih berharap kami bisa dipertemukan dalam versi yang lebih baik. Dia bersama pasangannya dan aku bersama pasanganku.

Setelah covid selesai, aku fokus merawat tubuhku. Berkomitmen untuk punya tubuh yang ramping, langsing dan berbentuk mungkin?

Setiap selasa dan kamis aku selalu (not always hehe )  berlatih ABC run di sekolah. Minggunya keliling komplek. Puasa senin kamis, menjaga pola makan. Lelah sekali, tapi mantep sih.

Waktu itu aku belum sepenuhnya menutup diri dengan pakaian panjang dan kerudung. 
Jadi, jelek bagusnya tubuhku akan sangat ketara. 

Ohiya, terimakasih kepada novel Hijab For Sisters yang sudah memotivasiku menggunakan kerudung. 

Kerudung ya, bukan hijab atau khimar. Doakan saja.

Waktu itu aku merasa sangat muda, banyak cobaan sedikit pengalaman, jadi sering belok-belok keluar garis.

Kata guruku di SMP, kita akan kesulitan memanagemen waktu di SMA jika belum menemukan jati diri di SMP. 

Jadi, SMA itu tinggal ngerapihin jadwal hidup aja. Membangun segala habbit yang baik. 

KOMITMEN
Menjelang kelulusan, aku berkomitmen untuk self-improvement. Membaca filosofi teras salah satu caranya.

Ada banyak sekali janji-janji yang ku utarakan di hati saat itu.
1. Berjanji untuk terus belajar.
2. Berjanji untuk ga marah.
3. Berjanji untuk ga pacaran.
4. Berjanji untuk taat kepada agama, dan orang tua.
5. Berjanji untuk tidak menjadi wanita borjuis.
6. Janji siswa pastinya.

Apa lagi ya? Itu saja yang kuingat. 

PENUTUPAN
Akhirnya, kami lulus dari masa-masa pembentukan karakter itu.
(-Eca❤️)

Kami berpisah, tapi siapa sangka aku bertemu lagi dengan si Ana dan Seren di Smanek. 

PESAN
Kalian jaga diri baik-baik ya, nanti kita ketemu lagi, pas aku udah jadi presiden. Love you all.

Senin, 14 April 2025

KEPADA ALWI JOHAN

Teringat satu sosok, Alwi Johan namanya. Aku tidak mencintainya. Tapi dia cinta dengan buku, begitupun aku. Kita berurusan Alwi. 

Bagiku,
Kamu cinta buku, aku cinta buku, dan buku tahu kita saling mencintai buku, sudah lebih dari cukup. 

Asal kamu tau, bukan sekali dua kali aku tenggelam dalam pikiranmu. Setiap diksi yang kamu goreskan itu, aku nikmati dengan seksama. 

Status kita ini bagaikan merak mentapi pelangi kan?  Terlihat indah, namun, tiada korelasinya, tiada faedahnya.

Aku meraknya, kamu pelanginya.

Aku memberimu nilai 1/100 saat ini, dan 100000/100 jika nanti kita bertemu.

Aku sering menerka-nerka pikiranmu, Alwi. Kamu ini berorientasi kemana?

Apa? Sudah jelas ke kiri kan? 

Kamu cerdas, kamu pemberani, kamu sederhana, kamu atletis, kamu menguasai duniamu.

Sepertinya, aku cenderung kepadamu.

Kamu jangan kepedean ya Alwi, Pokoknya aku selalu jatuh cinta dengan orang yang suka baca buku, karena minoritas patut dicintai.

Pesan :
"Kenapasih kamu jadi seleb sosmed? Kenapa gak jadi org biasa aja?"



Ditulis oleh Aisyha
2 Februari 2025

MENIKAHI UNTUK MENZALIMI

"Apakah semua orang yang menikah benar-benar siap mencintai, atau hanya ingin memiliki?" Aku lahir di tengah keluarga yang penuh h...