Selamat Datang Di Blog Pribadi Aisyha Nazaara Assha Septiandra | Buku harian yang dipublikasikan

Rabu, 07 Mei 2025

MALAM PERTAMA BERSAMA TAN MALAKA

Bukan di hotel mewah, bukan di bawah bintang. Tapi di kamar sederhana dengan suara kipas angin yang menggebu-gebu.

Aku duduk bersila di kasur, menatap halaman pertama Madilog. Dan di situlah, malam itu, aku jatuh cinta. Bukan pada sosok, tapi pada ide. Bukan pada wajah, tapi pada logika.


Malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa ditemani oleh seseorang yang benar-benar paham tentang revolusi dan tanah air.

Namanya: Tan Malaka. (Ibrahim Datuk Tan Malaka)

                              ---------------

Aku masih tak percaya. Awalnya hanya memandang Tan dari jauh di gramedia. Membatin, ingin memiliki,  tapi saat itu... Aku belum bisa.

Akhirnya, aku melangkah pergi dengan dada yang masih menggantung.

Setahun berlalu.

Aku bertemu seorang teman. Lelaki yang, dari caranya berbicara, cara berpikir, cara mempertanyakan dunia—terlihat...kiri?

Namanya Desta Esaputra Mahendra.
Dan ternyata, dialah yang kelak mempertemukanku dengan Tan Malaka.

“Kamu suka Tan Malaka juga?” tanyanya suatu malam lewat pesan singkat.

“Iya, Des. Aku suka banget. Tapi aku belum punya bukunya...” balasku cepat. Ada antusiasme, ada getir.

Tak butuh waktu lama untuknya membalas.

...Desta send a picture (Daftar Isi Madilog)
“Aku punya Madilog. Kalo kamu mau, kamu bisa baca punya aku syah.”

Hatiku menghangat, “Mauuuuu😍” ya ampun aku sangat antusias.

“Tapi aku sendiri kurang ngerti sih,” Desta membalas.  “Bahasanya agak susah.” tambahnya.

Sekelas Desta—yang namanya selalu bertengger di peringkat pertama— saja merasa kesulitan membaca Madilog.
Lalu bagaimana denganku?

Ah, dont care about it. Yang penting, kumiliki dulu. Soal nanti paham atau tidak, biarlah jadi urusan malam-malam berikutnya.

Terkadang, memiliki sesuatu yang kita yakini penting—meski belum sepenuhnya kita mengerti—adalah bentuk awal dari komitmen.

Malam itupun tiba, kamar menjadi saksi.  Di tanganku, tergeletak buku itu—Madilog.
Bukan sekadar buku. Ini adalah pertemuan yang kutunggu sejak lama. Sebuah malam pertama… bersama Tan Malaka.

Jantungku tak seharusnya berdebar hanya karena lembar kertas. Tapi nyatanya, ada sesuatu yang menggigil halus saat jemariku menyentuh sampulnya.
Sebagian diriku merasa belum siap. Tapi rasa ingin tahu mengalahkan segalanya.

Aku membuka halaman pertama dengan hati-hati, seakan menyentuh sesuatu yang sakral. Lalu, aku mulai membaca.

Dan di situlah aku sadar—Tan tidak sedang berbisik lembut. Ia menatapku tajam. Ia langsung menusuk ke dalam kepalaku dengan tiga kata: Materialisme. Dialektika. Logika.

Bukan rayuan, bukan pengantar manis, tapi tamparan. Bahwa berpikir bukan tentang merasa paling pintar, tapi tentang meruntuhkan semua asumsi yang kita kira kebenaran.

Bahwa memahami dunia bukan sekadar mencatat—tapi menggugat.

Aku mendesah pelan, tersenyum getir.
Begini ya rasanya, disentuh pertama kali oleh pemikiran yang benar-benar hidup?

Tiba di bagian Logika Mistika, aku tertegun.

Inilah bab yang seolah paling dekat dengan hidupku. Dengan lingkungan tempatku dibesarkan. Dengan keluarga besarku yang masih begitu erat menggenggam mistik dan takhayul sebagai warisan yang tak boleh digugat.

Katanya, jangan duduk di depan pintu nanti susah jodoh. Jangan menyapu malam-malam, nanti rezekinya hilang. Jangan bicara terlalu keras saat magrib, nanti disamber setan.

Di sini, Tan Malaka datang sebagai pembongkar kepercayaan turun-temurun. Ia tidak menghina, tapi menguliti satu per satu cara berpikir yang dibungkus oleh rasa takut.

Katanya, “Kita jangan melawan mistik hanya dengan anti-mistik. Tapi kita hadapi dengan logika. Dengan pengetahuan.”

Ah, Tan, andaikan kau hidup di zaman sekarang. Di mana neurosains sudah menjadi bahasa baru untuk menjelaskan “kerasukan”  yang dulu dianggap ulah jin.

Sekarang kami menyebutnya dissociative trance disorder—sebuah kondisi psikologis di mana seseorang keluar dari kesadarannya. Bisa secara sengaja atau tidak disengaja.

Tapi bahkan hari ini, penjelasan ilmiah itu dianggap terlalu ‘barat’, terlalu ‘tidak beradab’. Dan suara seperti milikmu, Tan, tetap dianggap sebagai pengganggu tradisi, bukan penyelamat cara berpikir.

Aku menutup halaman itu sejenak, menarik napas panjang. Tidak mudah memihak nalar, saat perasaan sudah terbiasa berlindung di balik mistik. 

Malam-malam berikutnya, aku masih bersama Tan. Buku Madilog kini tak lagi terasa asing. Meski belum sepenuhnya kumengerti.

Baru malam ke 4 saja, aku sudah kelelahan. Bukan karena terlalu rumit, tapi karena terlalu jujur. Terlalu menggugah.

Intinya, Tan memulainya dari dasar: 
Materialisme. Bagaimana kita harus berpikir berdasarkan kenyataan, bukan angan-angan. Ia tak menolak keyakinan, tapi ia ingin kita tak mudah larut dalam dogma. Bahwa segala sesuatu harus diuji: apakah itu nyata, atau hanya warisan pikiran yang tak pernah kita pertanyakan?

Ia menyebut mistik sebagai bentuk kemalasan berpikir. Tapi bagiku, itu bukan penghinaan—itu ajakan untuk berani berpikir sendiri.

Dan yang paling mengguncangku, adalah dialektika. Ah, ini bagian yang membuatku merasa benar-benar berdialog dengan Tan.
Bahwa segala sesuatu di dunia ini bergerak karena pertentangan. Bahwa kebenaran bukan diam di satu tempat, tapi terus berubah, berkembang, dan bertumbuh dari perbedaan.

Hidup adalah pertarungan antara tesis dan antitesis. Dan di antaranya, kita menemukan arah baru: sintesis.

Itu semua baru sampai Bab 5.
Tapi sejujurnya, seolah sudah cukup membuatku merasa… ditampar.

Malam keempat, rupanya jadi malam terakhirku bersama Tan. Aku tak sempat menyelami logika yang ia tawarkan—tak sempat mendalami "log" dari Madilog.

Untuk sekarang, biarlah ia tetap bernama Madi. Karena  logikanya belum sempat tinggal lama di sini.
 
                         -------------------

Pulang sekolah. Langit sudah menguning
Aku melihat sosok itu dari kejauhan—seragam kotak hijau, langkahnya santai, dan tas hitam andalan tergantung di punggungnya. Desta.

Aku berlari kecil, menghampirinya.
“Des!” panggilku.

Ia menoleh, sedikit terkejut.
“Kenapa syah?”

Aku mengangkat buku itu—Madilog, dengan sampul merahnya yang mulai lusuh di ujung-ujungnya. “Mau balikin Tan Malaka.”

Tatapan Desta berubah. Sedikit kaget.
“Emang udah selesai, Syah?” tanyanya pelan.

Aku tersenyum, tapi tak bisa menyembunyikan sedikit rasa sesal.
“Belum. Baru sampe bab lima. Aku harus nulis naskah buat film PKN. Takut ke-distract.”

Desta diam sejenak. “Yaudah... pegang aja dulu, Syah.”
Seperti ada makna lain di balik kalimatnya. Seolah ia ingin bilang: sayang banget, kamu belum sepenuhnya kenal Tan...

Aku menggeleng, pelan. “Nggak usah, Des. Kapan-kapan aja”

Desta mengangguk kecil, lalu membalikkan tubuhnya sedikit, “Oke deh. Tolong Masukin aja ke tas aku, Syah.” 

Aku segera membuka resleting tasnya, dan memasukkan buku itu perlahan. Jemariku tak sengaja menyentuh bekas lipatan kertas di dalamnya. Aku menarik napas, lalu menutup tasnya kembali.

Apapun itu, mau Elias Fuentes, Ossorio, Tan Minh Sion, Tan Ho Seng, atau bahkan Ilyas Hussein. Tan Malaka tetap Tan Malaka yang logikany belum kubaca.

Terima kasih ya, Des. Untuk pertemuan singkatku dengan Tan.












Pesan :
Jujurly sedih bgttt. Dan faktanya sampe sekarang aku blm ngelanjutin madilog!
Not sure if you still remember that moment… but either way, 
Arigathanks untuk Destaesa😍




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENIKAHI UNTUK MENZALIMI

"Apakah semua orang yang menikah benar-benar siap mencintai, atau hanya ingin memiliki?" Aku lahir di tengah keluarga yang penuh h...