Selamat Datang Di Blog Pribadi Aisyha Nazaara Assha Septiandra | Buku harian yang dipublikasikan

Selasa, 06 Mei 2025

MENENGAH TER-AKHIR

Debu bergulung di sepanjang jalan Cileungsi-Klapanunggal pagi ini. Langit biasa saja, tapi entah kenapa semuanya terasa lambat.

Aku menyetir motor, membonceng Nanda, sambil sesekali melirik ban yang sudah kekurangan angin sejak kemarin. Tak sempat dipompa. Sudah tak penting rasanya.

Hari ini aku memakai seragam putih abu untuk terakhir kalinya. Tak ada upacara kelulusan. Tak ada bunga-bunga perpisahan. 

Tidak ada suara gamelan atau nyanyian "Doa Perpisahan" seperti yang pernah kualami di masa SMP. Kami hanya datang untuk menandatangani lembar kelulusan.

Selesai. Begitu saja.

Lalu kami diberi buku tahunan. Yang harganya 375 ribu. Warnanya mencolok, desainnya ramai, tapi isinya terasa datar.
Foto-foto penuh senyum yang anehnya tak lagi terasa hidup. Hambar. Bahkan sedikit getir.

Tapi ada satu hal yang kutunggu sejak pagi: Pak Hasan. Guru sejarah di SMA ku.

Aku dan Syadenia mencari beliau ke ruang guru, menunggu dengan tenang seperti biasa. Saat akhirnya bertemu, aku tersenyum dan mengulurkan sebuah buku. Isinya catatan materi yang selama ini beliau berikan.

“Pak, saya minta tanda tangan ya,” kataku.

Beliau menatapku, "Apa ini? Coba saya baca-baca dulu" katanya, dan segera berlalu ke dalam ruangan.

Aku tak tahu beliau sadar atau tidak, bahwa aku mencatat semua materi sejarahnya dari kelas 10 sampai kelas 12. Tanpa diminta, tanpa ada yang tahu. Bahkan mungkin aku satu-satunya siswa yang melakukannya. Karena di tengah rutinitas sekolah yang kadang terasa hampa, pelajaran beliau selalu membuatku merasa hidup. Sebenarnya di Smanek, belajar sejarah saja aku sudah cukup.

Pak Hasan keluar ruangan, aku menyodorkan pulpen, kita bertiga malah duduk di depan kantor guru. 
Dan beliau menandatangani catatanku. Kecil sekali.

“Ini apa, Aisyha? Filsafat?” tanya Pak Hasan sambil membalik-balik halaman buku catatanku yang sudah lusuh di pinggirannya.

Aku hanya tersenyum kecil, sebelum Syadenia menimpali, “Wah, itu sih... emang bidangnya, Pak!” Nada suaranya meninggi, seolah sedang mempromosikanku jadi penerima Nobel.

Pak Hasan terkekeh pelan. “Dunia sophie paling dasar tuh, dan paling gampang dimengerti" kata pak Hasan. 

Aku mengangguk. Itu buku pertama yang membuat filsafat terasa seperti percakapan sore hari yang bisa dimengerti oleh remaja tanggung seperti aku.

“Kalau buku filsafat yang tebal-tebal itu,” lanjutnya, “kadang malah bikin bingung sendiri. Kebanyakan muter-muter.”

Obrolan kami mengalir ringan. Sederhana, tapi hangat. Tak butuh waktu lama, satu narasumber lain ikut bergabung. Pak Sunardi. 

Entah siapa yang lebih dulu memancing topik, tapi tiba-tiba kami seperti sudah duduk di meja diskusi kecil, dan saling bertukar ide.

Topik pun mengalir ke soal kuliah.
"Tadinya saya mau nembak tuh, masuk UI fakultas kedokteran!" ujarku penuh tawa.
Pak Hasan menatapku sejenak, lalu berkata dengan nada santai, “Masuk UI boleh, tapi ambil Sastra Jawa aja.”
Aku terkekeh.

Tipikal Pak Hasan—selalu menyelipkan sesuatu yang tak terduga.
Bukan meremehkan, aku tahu. Justru itu caranya bercanda: melempar pilihan yang terdengar acak, tapi diam-diam memancing reaksi.

Pak Sunardi duduk tak jauh, ikut menyimak. Beliau memberi saran dan menjelaskan sedikit filosofi bukunya yang berjudul 30 Hari.

“Coba baca La Tahzan, bagus itu,” katanya.
Aku mengangguk. Tapi dalam hati, aku tahu—judulnya saja sudah terlalu tenang. Terlalu manis. Kurang kiri, pikirku.
Bukan buku yang biasanya kugunakan untuk menantang pemikiran. Tapi tetap, akan ku coba.

“Kalo Aisyha, nggak ikut ekskul apa-apa ya?” tanyanya, seperti menggali pelan-pelan.

Aku ingin tertawa. Bahkan kenyataannya, aku sempat keluar dari satu ekskul hanya demi fokus ke yang lain.
Terlalu banyak hal yang kupilih dengan penuh pertimbangan—dan pengorbanan.

“Syaden juga bagus sih,” tambah Pak Sunardi, “anak pramuka. Jago survive.”
Tawanya ringan, diikuti tawa Syaden yang tak kalah ceria.
“Aisyha juga pernah, Pak, tertarik masuk pramuka,” ujar Syaden sambil melirikku, penuh kenangan kecil.

Gila saja, obrolan kami ternyata belum selesai.
Dari topik kuliah, tiba-tiba melompat ke teori konspirasi, dan bermuara pada sejarah dunia yang disembunyikan.

“iya ,VOC itu BUMN-nya Belanda,” celetuk Pak Hasan. Aku terkekeh, tapi Pak Sunardi justru menanggapi serius, “Iya, dari zaman itu juga, korupsi udah jadi budaya.”
Pak Hasan mengangguk pelan, menambahkan, “Korupsi selalu ada di setiap masa. Tinggal bentuk dan siapa pelakunya yang berganti.”

Aku mengangguk, lalu menatap Pak Hasan dengan pertanyaan yang sejak lama ingin kutanyakan.
“Menurut Bapak, Tan Malaka itu pahlawan atau bukan?”

“Iya dong. Pahlawan,” jawab mereka hampir bersamaan.
Aku tersenyum lega. Entah kenapa, aku butuh mendengar itu. Butuh diyakinkan bahwa idealisme Tan tak sia-sia di mata guru-guruku.

Aku melirik ke arah Syaden yang sejak tadi lebih banyak diam dan senyum. Manis sekali.

Lalu aku menatap Pak Hasan lagi, mataku membulat antusias.
“Tapi Bapak percaya nggak, kalau nama asli Gajah Mada itu bukan Gajah Mada?”

Pak Hasan tertawa kecil. “Wah iya, itu. Bukan Gajah Mada. Terus Thomas Matulessy juga—”

“Muhammad Lessy,” potongku cepat.

Hening sebentar.
“Saya nggak percaya sih, Pak,” ujarku kemudian, jujur.
Pak Hasan tersenyum, “Saya percaya sih.”

Dan di situlah letak perbedaan kami.
Bukan soal benar atau salah. Tapi tentang bagaimana cara masing-masing dari kami menimbang narasi, menyaring sejarah, dan memilih mana yang layak dipercaya.

Aku sendiri tak percaya Thomas Matulessy itu Muhammad Lessy—keluarganya pun sudah pernah mengklarifikasi. Tapi entahlah. Di dunia ini, bahkan yang telah diklarifikasi pun masih bisa dipertanyakan.

Ponselku bergetar. Nanda menelepon—kode bahwa sudah saatnya pulang.
Di saat yang hampir bersamaan, Pak Hasan pamit sejenak menuju ruang Tata Usaha.
Tinggallah aku, Syaden, dan Pak Sunardi di bangku panjang yang mulai disapu angin siang.

Pak Yogo, Pak Mansyur, Pak Anta, Pak Sandi, dan Pak Andi sesekali melintas. Seperti figuran dalam film, mereka hadir tapi tak terlalu terlibat. Hanya lalu-lalang sunyi dalam cerita kami.

Aku ragu. Tapi akhirnya kutarik nafas, memberanikan diri.
“Yaudah, Pak… makasih ya,” ucapku sambil menjulurkan tangan ke arah Pak Sunardi.
Kami bersalaman. Aneh—aku biasanya tak terlalu yakin untuk berjabat tangan dengan guru laki-laki. Tapi kali ini sudah terlanjur. Lagipula, aku tadi juga sudah bersalaman dengan guru-guru lain.
Apa bedanya?

“Iya, Aisyha… Syaden… sukses selalu, ya,” katanya tulus.
“Iya Pak, makasih yaa,” sahut Syaden ramah.

Kami berjalan menjauh. Aku melangkah lebih dulu, sementara Syaden mengekor di belakang.

Langit Klapanunggal tampak biasa saja, tapi ada yang berubah di dalam diri.
“Ternyata lebih seru ya, belajar sambil ngobrol kayak tadi... daripada pas sekolah,” aku membuka percakapan.

“Iyalah, Sya,” jawab Syaden dengan nada yang tidak sekadar setuju, tapi juga mengandung perenungan.
“Kalau sekolah kan kita dipaksa, kaya harus memperhatikan, harus duduk diam. Kalau yang tadi tuh ngalir aja… nggak ada kekhawatiran apa-apa.”

Aku mengangguk pelan.
Benar juga. Mungkin kita tak butuh banyak ruang belajar baru—hanya butuh ruang aman, yang membuat kita merasa didengar tanpa harus selalu diuji.

Masa menengah akhir berakhir bukan dengan upacara megah, bukan pula dengan toga atau panggung wisuda.
Hanya dengan foto-foto seadanya—aku, Nanda, Syaden.
Kami berdiri di depan gapura Exsynus yang warnanya mulai pudar, tertawa karena hal-hal kecil yang dulu sering kami keluhkan.

Tanpa seremoni. Tanpa nama dipanggil satu per satu. Tapi entah kenapa, tetap terasa cukup.
Tanpa wisuda, kami tetap bahagia.

Mungkin karena kami tahu: yang abadi bukan seremoni, tapi kenangan. Dan hari ini, kami telah mengabadikannya.

Eakkkkk. Tamat.





Pesan:
Makasih buat Syadenia Rizky Putri yg udah jadi temen dalam Dhuha, Zuhur, Ashar di Smanek. Aku yakin, suatu saat cita-cita dan rencana yang selama ini kamu simpan itu akan terwujud. 

Makasih buat Nanda Rivaida Indriani. Wah ini sih udah kaya adek ku sendiri. Temen dalam suka duka. Aku yakin, suatu saat, kebaikan yang kamu kasih ke aku bakal berbalik 7000x lipat ke kamu.

Makasih banget buat bapak bapak yang ga pelit ilmu. Xixixix. Pak Hasan dan Pak Sunardi yang betah ya di Smanek. Kedepannya mungkin akan lebih berat karena bapak-bapak akan mendidik anak murid yang bangun tidur tontonannya tung tung saur, tiktok dll. Tapi tetep semangattt! Nanti saya bakal baca channel yt asisi ya namanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENIKAHI UNTUK MENZALIMI

"Apakah semua orang yang menikah benar-benar siap mencintai, atau hanya ingin memiliki?" Aku lahir di tengah keluarga yang penuh h...