Selamat Datang Di Blog Pribadi Aisyha Nazaara Assha Septiandra | Buku harian yang dipublikasikan

Jumat, 16 Mei 2025

PRAJA DI DALAM FILM

"Bisa gak sih, sehari aja ga nulis?" Otakku berteriak kencang dari balik tengkorak.

Menulis dan bernapas, bagiku tak ada bedanya.  Seperti... masa lalu, masa depan, masa kini, bagiku sama-sama masa. 

"Jadi gimana cara cepet move on?" Tanya temanku dengan Sampoerna Mild yang terhimpit di jarinya. Ya, dia laki-laki.

Aku terkekeh mendengarnya. Bahkan, dari awal berpisah, aku tidak ada niat untuk move on.

Ada saatnya kita lupa. Namun, jika suatu hari kenangan itu menyelinap kembali, mengguncang dada tanpa permisi, biarlah. Namanya manusia, diberkahi memori yang tak pernah benar-benar mati.

Perpisahan, di detik pertama, bukan sekadar kehilangan. Rasanya seperti ada bagian dari jiwa yang tercabik. Amigdala dalam otak bekerja gila-gilaan, memuntahkan rasa sakit yang tak terdefinisikan. Bukan hanya di hati, tapi menjalar ke tenggorokan, dada, bahkan napas. Dan pada saat itu, dunia tak benar-benar hening. Ia berisik—oleh bayangan, oleh rindu—pftttt. Bukannya menangis, aku malah tertawa sendiri jika ingat.

“Cara cepet move on tuh, gini…" kataku dengan senyum tipis, seolah aku tahu caranya. Padahal nyatanya, aku sedang berdusta—lagi.

Kenyataannya, aku belum benar-benar pergi dari luka itu. Hatiku masih tertambat di hari-hari yang tak ingin kuingat tapi tak bisa kulupakan.

“Tau gak, bedanya hati gua sama kuburan?” tanyanya tiba-tiba, di sela asap rokok yang mengepul pelan dari bibirnya.

Aku melirik malas. “Gombal.”

“Belom, sinting,” katanya, tertawa kecil. Giginya rapi, terlalu kontras dengan candaannya yang receh.

“Di kuburan ada setan, di hati gua ada kesepian.”
Tawa meledak dari mulutnya. Seakan candaan itu benar-benar lucu. Tapi matanya tak ikut tertawa.

Dan saat itu, aku sadar, barangkali dia tidak benar-benar sedang bercanda.

“Ceritain aja,” kataku, menatap matanya dalam-dalam. Aku tahu—ia sedang menyembunyikan sesuatu. Otak laki-laki memang tak dirancang untuk bicara panjang. Hipotalamus mereka berbeda. Kadang, diam jadi satu-satunya cara bertahan. Tapi aku bisa merasakan, ada beban yang sedang menjeratnya pelan-pelan.

Dia mengalihkan pandangannya ke langit malam, menghembuskan asap rokok seperti sedang merapal mantra. “Takut setan gak?” tanyanya tiba-tiba. Lagi-lagi, terdengar receh.

Tapi aku menanggapinya serius. “Setan itu sifat. Hantu itu materi fisik. Jadi, yang mana?” 
Aku sengaja menjawab begitu—ingin obrolan ini lebih berbobot.

“Orang takut kuburan karena ada hantu,” katanya, melirikku sekilas, lalu menyambung dengan nada menggoda, “Hantu yang materi fisik”

Aku mendengus, siap membalas, tapi kalimat berikutnya memukul lebih keras dari yang kuduga.
“Beda ceritanya kalau orang yang kita sayang ada di dalem kuburan.”

Jleb. Di luar prediksi BMKG. Aku diam sesaat.

“Ngerti gak?” tanyanya, seolah meragukan kemampuanku menyerap makna kata.

Aku menghela napas pelan, lalu menjawab, “Iya tau.” 

Aku menatap lurus ke depan, mencoba terdengar lebih tenang daripada yang sebenarnya kurasa. “Maksudnya, setelah kehilangan, kuburan tidak lagi menyeramkan… kalau di dalamnya ada raga yang kita sayang.” aku pernah membaca ini di tiktok.

Dia tidak langsung menimpaliku. Hanya menatap ujung rokok yang tinggal separuh, lalu membuang napasnya pelan.

“Gua tuh heran,” katanya akhirnya, suaranya pelan, hampir kayak bisikan. “Kenapa ya… orang yang ninggalin kita, bisa tenang di sana, tapi kita yang ditinggal, harus terus hidup kayak mayat hidup?” Entahlah, mungkin jika tidak memiliki ego, lelaki disampingku ini sudah menangis tersedu-sedu.

Aku....ingin memeluknya. 

Ya ampun, kenapa love languange ku phsycal touch? Kata ibuku 'Tidak boleh bersentuhan dengan lawan jenis'. 

Dan dia… dia teman dekatku. Bukan orang asing. Tapi juga bukan yang halal.
Jadi aku tahan. Lebih baik simpan pelukan itu di  dalam do'a “Tolong jaga dia. Peluk dia, kalau aku belum bisa.”

Ia hanya melirikku, belum sempat berkata apa-apa ketika jariku menyentil rokoknya hingga terjatuh ke tanah.

Praja. Bukan tokoh di dalam film. Dia nyata, disampingku. Iya, lelaki sebaik itu. 
Jika dideskripsikan dengan gaya Pram, Praja itu....

Ia lelaki muda dengan sorot mata hitam pekat, seperti sumur tua yang menyimpan banyak rahasia dan dendam yang belum lunas. Tatapannya tajam, bukan karena kemarahan, tapi karena hidup telah memaksanya belajar menilai dunia lebih cepat dari semestinya. Tubuhnya tegap, sekitar 177 sentimeter, dengan dada bidang, otot bisep dan trisep yang terbentuk bukan dari alat olahraga, melainkan dari kerja keras yang tak pernah banyak ditanya asalnya.

Wajahnya bersih, kulitnya sawo matang, seperti mereka yang tumbuh di bawah matahari kampung tapi tau cara menjaga diri. Hidungnya biasa saja, tidak bangga dan tidak malu, sedang-sedang saja seperti sikapnya terhadap hidup. Ia bukan lelaki tampan menurut ukuran umum, tapi ada sesuatu dalam senyumnya—sejuk dan jujur—yang membuat orang tak ingin buru-buru pergi setelah menatapnya.

Ia selalu memakai celana bahan dan kaos oblong murahan, entah karena pilihan atau keterpaksaan ekonomi. Sendal Swallow merah adalah sahabat setianya, jejak ke mana pun ia pergi, dari warung kopi sampai musala kecil di ujung gang. Wangi tubuhnya selalu ditingkahi aroma parfum Axe cokelat, wangi maskulin yang terlalu berusaha keras, seperti dirinya—berusaha terlihat biasa saja di antara gelimang harta yang dimilikinya.

Mau dikenang di mana lagi, Praja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENIKAHI UNTUK MENZALIMI

"Apakah semua orang yang menikah benar-benar siap mencintai, atau hanya ingin memiliki?" Aku lahir di tengah keluarga yang penuh h...